Ekspansi AirAsia - Di Financial Club, Jakarta, pekan lalu, seorang direktur utama perusahaan sekuritas mengeluhkan rencana initial public offering (IPO), penawaran saham perdana Indonesia AirAsia (IAA) kepada publik. ”Tak pantas, sebuah maskapai penerbangan—yang mayoritas sahamnya boleh dikata dimiliki orang dari negeri lain—meraup modal dari rakyat kita,” ujarnya.
Didirikan 1 Desember 2005, meski berbadan hukum Indonesia, di mata sebagian orang, IAA tetap ”maskapai penerbangan Malaysia”. Padahal, sudah 15 juta orang diangkut IAA dalam lima tahun ini. Mengapa harus mempersoalkan milik Indonesia asli atau bukan, saat IAA mau IPO pada semester II-2011?
Saat IAA terbang menghubungkan Kuala Lumpur-Bandung, Dato’ Anthony Francis Fernandes, pendiri dan Chief Executive Officer AirAsia, tak ribut soal nasionalisme. Padahal, dalam penerbangan itu lebih banyak orang Malaysia pelesiran di Bandung sehingga pengusaha Bandung lebih untung ketimbang pengusaha Malaysia!
Bagi Tony, panggilan Dato’ Anthony Francis Fernandes, yang terpenting semua orang dapat terbang, now everyone can fly! Soal siapa yang lebih untung, itu pinter-pinter-nya pemilik warung, pemerintah kota, hingga negara menangkap peluang. AirAsia hanya menerbangkan saja.
Soal nasionalisme, asal-usul BreadTalk di Plaza Senayan juga tak jadi soal. Padahal, toko roti itu bermula di Bugis Junction, Singapura. Yang penting enak, halal, dan sesuai ”kantong”. Jadi, sebenarnya tak ada yang salah apabila membeli saham AirAsia.
Malah apa yang dilakukan AirAsia harus dicontoh sebab itulah bukti sukses regionalisasi bisnis. Itulah keberhasilan cara pandang terhadap ”Asia Tenggara yang satu” dengan pasar sekitar 550 juta orang. Tak sekadar 25 juta orang di Malaysia, atau 4 juta orang di Singapura.
Regionalisasi bisnis memang harus disadari semakin di depan mata. AirAsia, misalnya, selain mendirikan Indonesia AirAsia, di Malaysia juga telah membangun AirAsia Bhd dan AirAsia X, di Thailand ada Thai AirAsia, serta di Filipina ada AirAsia Inc. Jaringan penerbangannya semakin menggurita.
Namun, kesuksesan di regional ini, seperti kesuksesan AirAsia, hanya mampu direngkuh pebisnis tangguh. Extra Joss telah merambah Malaysia dan Filipina. Sementara jaringan Hotel Santika pada 2012 segera merealisasikan hotel di Singapura karena mengincar predikat sebagai jaringan hotel terbaik di Asia Tenggara.
Dengan demikian, dengan tren regionalisasi harusnya tak boleh ada iri, curiga-mencurigai. Kita dorong saja Lion Air atau Batavia Air untuk melebarkan sayapnya hingga negara sebelah. Di sisi lain, tiada salahnya menyambut IPO AirAsia. Sebab, calon investor mana yang tak ingin mendompleng keberuntungan dari maskapai yang terus terbang menanjak. ”Kalau kantor saya di Kuala Lumpur, lalu malam tidur di rumah saya di Bali, terus kenapa?” kata Tony, suatu hari.
Dia memimpikan Asia Tenggara yang tanpa batas, borderless, seperti di Eropa. Dan, hanya perusahaan yang siap yang bertahan di Asia Tenggara yang tanpa batas.
Sumber :
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/03/03/08004858/Ekspansi.AirAsia